Beranda | Artikel
Pentingnya Taawun dalam Dakwah
Senin, 22 Oktober 2018

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Yahya Badrusalam

Pentingnya Ta’awun dalam Dakwah merupakan rekaman kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh: Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. dan disiarkan secara langsung dari dari Jl. Khairil Anwar, Makasar pada 11 Shafar 1440 H / 20 Oktober 2018 M.

Ceramah Agama Islam Tentang Pentingnya Ta’awun dalam Dakwah – Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc.

Allah memerintah kita untuk saling tolong-menolong, saling bahu-membahu. Maka dakwah para Nabi membutuhkan bantuan para sahabatnya. Ketika Allah mengutus Nabi Musa alaihissalatu wassalam kepada Fir’aun, maka Nabi Musa meminta kepada Allah supaya Harun bisa membantunya. Nabi musa berkata:

وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَانًا فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءًا يُصَدِّقُنِي ۖ إِنِّي أَخَافُ أَن يُكَذِّبُونِ ﴿٣٤﴾

Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku”.” (QS. Al-Qashash[28]: 34)

Lalu di ayat selanjutnya Allah berfirman:

قَالَ سَنَشُدُّ عَضُدَكَ …

Kami akan membantumu dengan saudaramu, …

Kita tidak bisa berdakwah tanpa ta’awun. Seorang ustadz tidak bisa berdakwah sendirian tanpa bantuan. Lihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika berdakwah dibantu oleh istrinya, dibantu oleh sahabat-sahabatnya. Orang yang paling membela dan membantu dakwahnya adalah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Ketika Abu Bakar disakiti oleh salah satu sahabat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah sekali dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang sangat besar jasanya padaku dalam kedekatan dan kerelaan mengeluarkan harta, ialah Abu Bakar.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ta’awun dalam dakwah atau tolong-menolong dalam dakwah ini tidak mungkin bisa kita lakukan kecuali dengan beberapa poin berikut ini:

Pertama, adanya kesadaran pentingnya berdakwah. Kalau tidak ada kesadaran ini, maka akan sulit. Hakikat dakwah adalah menyeru dan mengajak manusia kepada kebaikan. Dan itu adalah tugas yang sangat mulia. Allah menyebutkan bahwa tugas yang paling mulia adalah dakwah. Allah berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّـهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ ﴿٣٣﴾

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?`” (QS. Fushilat[41]: 33)

Kebenaran tidak mungkin akan tersebar kalau kita tidak berdakwah. Justru kalau kita tidak berdakwah, kebatilan akan semakin merajalela. Imam Ahmad berkata, “Kalau aku diam, kamu diam, kapan orang bodoh akan tahu ini benar ini salah?” Maka ta’awun, saling tolong-menolong ini harus dimulai dengan disadarkan tentang pentingnya dakwah. Dakwah bukan hanya tugas ustadz. Memang kalau sifatnya pendalaman ilmu, itu adalah tugas seorang ustadz yang telah Allah berikan kepadanya kedalaman ilmu. Tapi para murid, tidak boleh berpangku tangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَوَاللَّهِ لأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ

Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah.” (HR. Bukhari no. 2942 dan Muslim no. 2406)

Jangan remehkan satu kalimat kebaikan. Berapa banyak orang yang mendapatkan hidayah hanya karena satu kalimat kebaikan? Bahkan berapa banyak seseorang menjadi ulama besar gara-gara satu kebaikan?

Imam Adz-Dzahabi, ulama hadits yang sangat luar biasa. Beliau menulis kitab Siyar A’lam Nubala, beliau menyebutkan sejarah para perawi dan orang-orang yang terkemuka. Beliau menulis Tariqul Islam yang sangat tebal. Beliau menulis kitab tentang perawi Mizan Al-I’tidal. Beliau juga menulis kitab-kitab perawi-perawi yang lain. Sebab beliau menjadi ulama hadits adalah ketika beliau masih kecil dan bermain dengan teman-temannya, kemudian dia menulis di sebuah batu ceper. Ketika dia sedang menulis, lewatlah seorang ulama hadits. Lalu ulama itu berkata, “Wahai anak, sesungguhnya tulisan kamu menyerupai tulisan ahli hadits.” Ucapan ini sangat mengena dihati Imam Adz-Dzahabi, semenjak itu dia jadi cinta dengan ilmu hadits. Lalu dia pergi mencari ilmu hadits.

Kitab Shahih Bukhari, kita semua mengenalnya. Kitab tershahih setelah Al-Qur’an. Sebab Imam Bukhari menulis kitab ini adalah satu kalimat ucapan gurunya Ishaq bin Rahuyah. Kalimat yang diucapkan gurunya adalah, “Barangkali diantara kalian ada yang bisa mengumpulkan hadits-hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Imam Bukhari berkata, “Kalimat beliau ini mengena dihatiku. Maka akupun mulai mengumpulkan hadits-hadits shahih.”

Kedua, saling mencitai karena Allah. Kita tidak mungkin ta’awun jika kita tidak saling mencintai karena Allah. Kalau kita saling membenci, kita tidak akan bisa saling tolong-menolong. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَحَاسَدُوْا ، وَلاَ تَنَاجَشُوْا ، وَلاَ تَبَاغَضُوْا ، وَلاَ تَدَابَرُوْا…

Kalian jangan saling mendengki, jangan saling najasy, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi !” (HR. Muslim no. 2564)

Kecuali karena membencinya karena Allah. Disebutkan dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ الْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ

“Tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.”(HR. Tirmidzi)

Abdul Qadir Al-Munawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan cinta karena Allah adalah mencintai seseorang karena ketaatan, ketakwaan, keimanannya. Bukan karena harta atau kedudukannya. Demikian pula kita membenci seseorang karena kemaksiatan dan pembangkangannya kepada Allah dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selama ini kita mencintai teman kita karena Apa? Jika karena satu organisasi, itu bukan cinta karena Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

دَبَّ إِلَيْكُمْ دَاءُ الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ: اَلْحَسَدُ وَالْبَغْضَاءُ ، وَالْبَغْضَاءُ هِيَ الْحَالِقَةُ ، حَالِقَةُ الدِّيْنِ لاَ حَالِقَةُ الشَّعْرِ ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا ، أَفَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِشَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ.

Penyakit umat-umat sebelum kalian telah menyerang kalian yaitu dengki dan benci. Benci adalah pemotong; pemotong agama dan bukan pemotong rambut. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian kerjakan maka kalian saling mencintai ? Sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR. at-Tirmidzi)

Ketiga, saling menasihati. Sampaikan nasihat dengan cara yang baik. Terkadang, ketika melihat seorang teman berbuat salah, belum dinasihati langsung disikapi. Tentu itu tidak benar. Kalau kita melihat saudara kita berbuat salah dimata kita, nasihati dia secara rahasia. Jangan nasihati dia didepan orang. Jangan pula tiba-tiba sikap kita berubah tanpa ada sebab. Tentu dia akan bingung.

Simak Penjelasan Lengkapnya dan Download mp3 Ceramah Agama Islam Tentang Pentingnya Ta’awun dalam Dakwah – Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc.


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/44948-pentingnya-taawun-dalam-dakwah/